Advertisement

Page Ranking Tool

Jumat, 16 April 2010

Sistem Pilkada Perlu Disederhanakan

Ide penyederhanaan pemilihan kepala daerah yang awalnya digulirkan Kementerian Dalam Negeri mendapat dukungan luas. Pelaku pilkada seperti mantan calon Gubernur Bengkulu, Patrice Rio Capella, mengatakan penyederhanaan pilkada ini mendesak dilakukan.

Dari pengalamannya, pilkada mahal dan rumit karena regulasi tidak terlalu ketat. Perlu ada tolak ukur dan kriteria yang pantas.

“Persepsi selama ini, pilkada adalah milik calon yang punya uang saja," kata Rio. "Persepsi kandidat atau calon bisa dibuat dengan uang. Pencitraan dan uang adalah setali tiga uang. Uang bisa memperbaiki citra buruk menjadi baik," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional itu dalam seminar “Mewujudkan Efisiensi Biaya Kampanye Dalam Pilkada” di Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, Rabu 14 April 2010.

Kasus lain yang pernah terjadi, ungkap Rio Capella, adalah adanya pemerasan terhadap calon pegawai negeri sipil sebagai modal dana siluman bagi calon bupati/gubernur yang incumbent. "Bupati/Gubernur menjadi raja-raja kecil di daerah. Gubernur tidak bisa mengontrol Bupati," katanya dalam rilis ke VIVAnews.

Oleh karena itu, Rio mengusulkan kriteria calon dalam undang-undang mesti dipertajam. Selain itu, walau aturan bagus tapi pendidikan politik kepada masyarakat tidak maksimal maka aturan itu bisa saja tidak efektif karena parpol dan calon bupati atau guebrnur tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yang menjadi pembicara kunci dalam Seminar ini menyatakan kementeriannya sedang menyusun konsep mengatur regulasi nasional tentang efisiensi biaya kampanye pemilu dan pilkada. Regulasi disusun mulai di tingkat konsep hingga teknis.

“Mendagri menerima masukan dari berbagai pihak, baik itu hasil riset atau konsep mengenai masalah efisiensi biaya pemilu dan pilkada,” ujarnya.

Sementara Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, melihat masalah pilkada ini harus diluruskan. Jika asumsi melulu dari kacamata Jakarta (Pusat), maka yang terjadi sistemnya desentralisasi tapi cara pandangnya masih sentralis. Selain itu perlu ditekankan aturan komponen pengeluaran dana kampanye.  Pembiayaan dari sisi pengeluaran harus dibatasi dengan memberikan berapa biaya per pemilih, teritorial, dan besarnya populasi suatu daerah.

“Kompetisi dalam pilkada mempresentasikan kekuatan uang, kekuatan massa, kekuatan gagasan, dan kekuatan jaringan," kata Anies. "Tetapi, kekuatan uang lebih menonjol sehingga menutupi kekuatan yang lain. Akibatnya legitimasi produk demokrasi rendah sebab semata mata karena uang."

Sementara Denny Indrayana, Staf Khusus Presiden bidang Hukum, yang menjadi tuan rumah seminar menyatakan demokrasi memang butuh biaya. Doktor Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada itu mengusulkan perlu ada pembenahan sistem dan efisiensi biaya.

“Besarnya pemutaran uang yang softmoney, black market dalam pemilukada perlu diawasi. Selain juga mengatur transaksi politik para calon bupati/gubernur," kata Denny. "Korupsi terjadi bukan hanya cuma korupsi keuangan negara. Ada Korupsi yang berputar, korupsi spiral, korupsi transaksi politik sistem supermarket yang terjadi dalam pilkada,” ujar Denny.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar