Advertisement

Page Ranking Tool

Minggu, 21 Maret 2010

Bupati Natuna Divonis Lima Tahun Penjara

Dua terdakwa perkara korupsi APBD Natuna, mantan bupati Natuna Hamid Rizal dan bupati nonaktif Daeng Rusnadi, divonis masing-masing tiga tahun dan lima tahun penjara. Keduanya dianggap secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum karena korupsi.

"Mengadili, terdakwa I Hamid Rizal dan terdakwa II Daeng Rusnadi, telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sesuai dalam dakwaan subsidair penuntut umum," kata Ketua Majelis Hakim Tjokorda saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,Jakarta, Jumat 19 Maret 2010.

Dalam putusannya, majelis hakim mengganjar Hamid dengan hukuman tiga tahun penjara plus denda Rp 100 juta. Sementara Daeng diganjar dengan lima tahun penjara, denda Rp 200 juta dan uang pengganti kerugian negara Rp 28,36 miliar.

Dalam pertimbangan majelis, Hamid telah terbukti menggunakan dana APBD Natuna tahun 2004 untuk membeli dua unit mobil. "Pembelian mobil telah terbukti, bahwa  terdakwa I (Hamid Rizal) memerintahkan Kabag Keuangan Pemkab Natuna, Subandi untuk mentransfer uang sebesar Rp 630 juta sebagai pembayaran atas pembelian mobil Mitsubishi Subaru Impressa," jelas Hakim Anggota Jupriyadi.

Hamid juga terbukti kembali memerintahkan Subandi untuk mentransfer uang sebesar Rp 849,3 juta ke PT Intraco sebagai pembayaran atas pembelian Mercedes Benz E 240 Automatic tahun 2004 seharga Rp 849,3 juta. "Mobil itu atas nama terdakwa I," jelasnya.

Sedangkan Daeng Rusnadi terbukti menerima uang dengan keseluruhan Rp 46,138 miliar. anggota majelis hakim Dudu Duswara, menyebutkan sebelum APBD Natuna disahkan saja Daeng sudah menerima Rp 28 miliar.

Hanya saja, lanjut Dudu, dana tersebut untuk perjuangan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas DBH migas hanya Rp 16 miliar. "Uang itu untuk lobi ke Jakarta, tetapi penggunannya tak dapat dipertanggungjawabkan," ujar Dudu.

Bahkan, sambung Dudu, semua pihak yang diajak Daeng untuk memperjuangkan DBH ke Jakarta ternyata ditanggung dengan  Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) dari masing-masing instansi. Selain itu, imbuh Dudu, saksi ahli dari Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Depkeu menyebut bahwa DBH Migas tak perlu diperjuangkan. "Sesuai prinsip by origin, daerah penghasil berhak mendapat DBH," sebut Dudu.

Perbuatan Daeng itu dinilai kontraproduktif dan menmbulkan pemborosan. Bahkan dari  seluruh dana yang digunakan Daeng, yang bisa dipertanggungjawabkan buktinya hanya Rp 9,42 miliar, antara lain digunakan untuk pengaspalan jalan, pembangunan saluran air, pembangunan masjid,  bantuan ke masyarakat miskin dan bantuan untuk naik haji. "Sementara penggunaan dana Rp 36 miliar tak bisa dibuktikan," tandas DUdu.

Namun majelis akhirnya memutus Hamid dan Daeng hanya melakukan perbuatan sesuai dakwaan subsidair. Dalam dakwaan subsidairnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Hamid dan Daeng dengan pasal 3 jo pasal 18 UU 31 tahun 1999 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Hamid dan Daeng didakwa menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan.

Hukuman yang dijatuhkan atas Hamid dan Daeng itu juga lebih ringan dari tuntutan JPU. Sebelumnya, JPU meminta majelis hakim Tipikor menjatuhkan hukuman terhadap Hamid dengan pidana penjara selama empat tahun, denda Rp 250 juta dan uang penganti Rp 1,47 miliar. Sedangkan tuntutan atas Daeng adalah hukuman lima tahun penjara, denda sebesar Rp 250 juta serta uang pengganti Rp 42,5 miliar.

Atas putusan dari majelis, Hamid mengaku akan menggunakan hak pikir-pikir. Demikian pula, maupun Daeng melalui tim penasehat hukumnya juga akan pikir-pikir.Pembacaan vonisnya tanpa dihadiri Daeng Rusnadi karena masih terbaring di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP).

Sebelum pembacaan putusan, penasihat hukum Daeng Rusnadi menyerahkan surat dari dokter perihal kondisi terakhir mantan Ketua DPRD Natuna itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar