Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra menilai pimpinan partai seharusnya dilarang merangkap sebagai menteri. Sebab, posisi pimpinan partai jauh lebih potensial mempengaruhi lembaga legislatif yang secara konstitusional diberi kewenangan pengawasan terhadap eksekutif.
Rangkap jabatan itu juga dinilainya melanggar hak asasi anggota lain untuk mendapat kesempatan yang sama.
"Mestinya jabatan menteri negara rangkap ketua partai dilarang tegas," kata Saldi saat menyampaikan keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materi UU Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi, Selasa 23 Maret 2010.
Menurut dia, rangkap jabatan itu menimbulkan dominasi elit. Kebijakan partai cenderung identik kebijakan elit. Bila ada anggota parlemen dinilai terlalu kritis pada pemerintah dalam menjalankan fungsi pengawasan bisa di-recall. "Syarat recall ini kan relatif mudah, salah satunya tidak sejalan kebijakan partai," kata Saldi.
Pada 5 November 2009, Wakil Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lily Chadijah Wahid menggugat Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi. Dia meminta posisi menteri tidak merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik.
Pasal yang digugat Lily Wahid, adik kandung mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu, adalah Pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi : 'Menteri Negara dilarang merangkap jabatan sebagai : a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau, c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.'
Lily Wahid meminta Mahkamah menyatakan Pasal 23 UU Kementerian Negara sebagai konstitusional bersyarat. Yaitu, konstitusional sepanjang yang dimaksud dengan "Pimpinan Organisiasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD" adalah Ketua Umum atau sebutan lain pada Partai Politik.
Dalam keterangannya, Saldi mendukung tuntutan Lily. Menurut dia, rumusan Pasal 23 huruf c tersebut merupakan hasil dari kalkulasi politik penyusun yang memelihara kepentingan politiknya.
Indikatornya, aturan huruf c bersifat fakultatif, berbeda rumusan huruf a yang menyatakan tegas dilarang merangkap pejabat negara lainnya, atau rumusan pada huruf b yang menyatakan dilarang merangkap komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta.
"Jika diletakkan dalam asas penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik, norma Pasal 23 huruf c bertentangan dengan pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Dalam hal ini melanggar hak asasi anggota partai yang ketuanya merangkap jabatan tersebut," kata Saldi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar